Ramadhan: Bulan Pengendalian Hawa Nafsu dan Syahwat
Ramadhan ! Saatnya Mengendalikan Hawa Nafsu dan Syahwat
Biasanya,
sering kita mengatakan atau mendengar bahwa shaum berfungsi untuk
menundukkan hawa nafsu jelek kita. Namun, yang dimaksud sekadar menahan
nafsu makan dan minum, tidak berbohong, tidak bertengkar, tidak
meng-gîbah, atau aktivitas lain yang bersifat moralitas semata.
Kalaupun faktanya demikian maka sebenarnya telah terjadi penyempitan
makna dari menundukkan hawa nafsu itu sendiri. Allah SWT berfirman:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوحَى
Tiadalah
yang diucapkannya itu (al-Quran dan al-Hadist) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya). (QS an-Najm [53]: 3-4).
Dalam
ayat di atas, Allah SWT secara tegas menjelaskan bahwa hawa nafsu dan
wahyu saling berbeda. Hawa nafsu adalah segala bentuk dorongan yang
berasal dari dalam diri manusia. Oleh karena itu, hawa nafsu tidak
hanya terbatas pada aspek moralitas saja, melainkan menyangkut seluruh
dorongan ada dalam diri manusia yang mewujud dalam seluruh aktivitas.
Sebaliknya, wahyu adalah sesuatu yang diwahyukan oleh Allah kepada
Rasulullah saw. berupa perintah dan larangan. Wahyu ini yang harus
mengendalikan hawa nafsu manusia. Jika hawa nafsu manusia tidak
dibimbing wahyu, ia akan cenderung pada keburukan.
Karena
itu, ketika bulan Ramadhan dikatakan sebagai bulan menundukkan hawa
nafsu, maka yang seharusnya terbayang dalam benak kita adalah kita
mencampakkan dan membuang jauh-jauh seluruh aktivitas yang dilarang
oleh Allah SWT. Selain kita meninggalkan meng-gîbah orang lain, kita
juga harus meninggalkan upaya mempraktikkan apalagi mempropagandakan
sekularisme, literalisme, pluralisme, feminisme, sinkretisme (penyamaan
semua agama), kapitalisme, pornografi, dan paham-paham sesat lainnya;
kita juga harus menghentikan kezaliman terhadap rakyat seperti menaikan
harga BBM yang sebenarnya tidak rasional; kita juga harus meninggalkan
aktivitas menghalang-halangi atau bahkan menfitnah agama dan dakwah
Islam.
Kita
pun harus berusaha untuk tidak melakukan praktik riba, bermuamalah
secara kapitalistik, berpolitik maciavelis, bernegara tanpa
undang-undang yang dilandasi al-Quran dan al-Hadist, mempertahankan
sistem aturan manusia, berinteraksi dalam masyarakat tanpa
patokan-patokan sistem sosial kemasyarakatan yang islami, serta
menjalani seluruh kehidupan tanpa syariat Islam. Semua itu harus kita
tinggalkan sebagaimana kita berusaha untuk meninggalkan sifat iri,
dengki, sombong, takabur dan seluruh sifat jelek lainnya.
Selanjutnya
kita harus bergiat diri dan bersemangat untuk bersama-sama,
bahu-membahu, dan terlibat aktif dalam menjalankan roda dakwah; menyeru
penguasa yang zalim untuk bersegera menerapkan syariat Islam; menyeru
masyarakat untuk bersegera terikat dengan syariah. Bukan sebaliknya,
rakyat dinasihati supaya sabar menghadapi kesulitan hidup, sementara
penguasa yang menyebabkan kesulitan hidup rakyatnya malah dibiarkan.
Ramadhan mengharuskan kaum Muslim terikat dengan aturan Allah SWT,
sebagaimana firman-Nya:وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ اْلإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي اْلآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ Siapa
saja yang menjadikan selain Islam sebagai dîn (agama, sistem hidup)
maka tidak akan diterima apapun darinya serta dia di akhirat termasuk
orang yang merugi. (QS Ali Imran [3]: 85).Allah SWT juga berfirman:أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah? (QS al-Maidah [5]: 50) Dari
dua ayat di atas tampak jelas bahwa kita diminta untuk berhukum pada
apa saja yang telah disyariatkan oleh Allah SWT melalui al-Quran dan
al-Hadist; bukan sepotong-sepotong, tetapi seluruhnya. Itulah hakikat
sebenarnya dari upaya menundukkan hawa nafsu. Apabila kita telah mampu
menundukkan hawa nafsu sebagai wujud dari puasa kita, kita akan menjadi
insya Allah manusia yang benar-benar bertakwa, sebagaimana firman
Allah-Nya:يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana puasa itu diwajibkan atas
orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa. (QS al-Baqarah [2]
183). Ramadhan Bulan Utama Memang
benar, bulan Ramadhan adalah bulan yang setiap detik, menit, jam, dan
hari-harinya penuh dengan keutamaan. Keutamaan-keutamaan tersebut
antara lain, Pertama: Ramadhan membentuk pribadi Mukmin yang taat
secara total kepada Allah SWT dan Rasulullah saw. dalam seluruh perkara
yang diperintahkan ataupun yang dilarang-Nya. Tidak ada keraguan di
dalam hatinya untuk menjalankan Islam secara kâffah (menyeluruh), baik
dalam hal akidah maupun hukum-hukum yang lain seperti: hukum ibadah,
makanan, minuman, pakaian, sosial, politik, ekonomi, budaya,
pemerintahan, dan lain sebagainya. Mereka siap untuk mengikuti wahyu
Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dengan ikhlas dan
tawakal. Kedua: Di sisi lain, pada
bulan Ramadhan, Allah SWT menurunkan wahyu berupa al-Quran pertama
kali. Wahyu inilah yang merupakan sumber hukum untuk dijadikan pemimpin
dan pemandu kehidupan. Dengan tegas, Allah SWT berfirman:شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ Bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan al-Quran sebagai petunjuk
(hudan) bagi manusia, penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu
(bayyinat) dan pembeda (furqân) (antara haq dan batil). (QS al-Baqarah
[2]: 185).Ayat ini menjelaskan, bahwa al-Quran
diturunkan oleh Allah SWT sebagai petunjuk bagi umat manusia yang
mengimaninya; dalil yang jelas dan tegas bagi mereka yang memahaminya,
yang terlepas dari kebatilan dan kesesatan; juga merupakan pembeda
antara yang haq dan batil, halal dan haram (Lihat: Tafsîr al-Qur’ân
al-‘Azhîm, I/269).Al-Quran bukan kumpulan pengetahuan
semata, tetapi juga petunjuk hidup bagi manusia. Al-Quran tidak hanya
sekadar dibaca dan dihapalkan saja, melainkan harus dipahami dan
diamalkan isinya dalam kehidupan sehari-hari. Nabi saw. dalam berbagai
hadisnya menegaskan, bahwa siapapun yang berpegang pada al-Quran dan
as-Sunnah tidak akan tersesat selama-lamanya. Allah SWT berfirman:وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا Apa saja yang diperintahkan oleh Rasul, ambillah; apa saja yang dilarang olehnya, tinggalkanlah! (QS al-Hasyr [59]: 7). Oleh
karena itu, dapat disimpulkan bahwa setiap perintah yang terdapat
dalam al-Quran mutlak harus dilaksanakan, dan setiap larangannya harus
ditinggalkan, baik terasa berat maupun terasa ringan. Yang tertanam
dalam hati dan pikiran adalah, “Kami mendengar dan kami patuhi!”
Alangkah ruginya orang yang memahami al-Quran tetapi tidak
mengamalkannya. Demikian juga bagi orang yang senantiasa menyerukan
Islam namun tidak menjalankan. Apalagi bagi orang yang menjadikan
al-Quran sebagai ‘barang dagangan’, suka memelintir pemahaman di
dalamnya, bahkan mengatakan al-Quran penuh dengan mitos dan buatan
Muhammad. Sungguh, orang tersebut bukan hanya merugi, namun juga
dilaknat oleh Allah. Jadi, pada bulan Ramadhan Allah SWT bukan sekadar
memerintahkan kita berpuasa supaya kita bertakwa, tetapi juga menurunkan
al-Quran sebagai sumber aturan untuk mencapai ketakwaan . Ketiga:
Allah sungguh Mahaadil, Mahabijaksana, dan Maha Pengasih, dan Maha
Penyayang. Dalam bulan Ramadhan pintu ampunan dibuka oleh Allah
selebar-lebarnya, setan-setan dibelenggu agar tidak bisa menggoda
manusia untuk berbuat mungkar, pintu-pintu surga dibuka lebar-lebar, dan
berbagai kenikmatan Allah dicurahkan. Dalam bulan ini juga terdapat
satu malam yang lebih baik daripada 1000 bulan. Itulah malam Lailatul
Qadar. Pada malam tersebut untuk pertama kalinya diturunkan al-Quran
kepada Rasulullah saw. sebagai petunjuk hidup bagi seluruh umat manusia;
bukan hanya bagi kaum Muslim saja, tetapi juga berlaku bagi umat
selain Islam. Itulah tanda rahmatan lil ‘alamin-nya Islam.
Wahai
kaum Muslim: Bulan Ramadhan adalah bulan untuk melakukan ketaatan
kepada Allah. Sudahkah kita menaati Allah SWT secara total? Ataukah
kita masih tetap membiarkan hidup kita diatur oleh logika dan hawa
nafsu kita? Relakah Ramadhan hanya merupakan ajang menahan lapar dan
haus belaka? Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []