Jumat, 19 Mei 2017
Makna Ibadah Haji & Umrah
…….Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap
Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke
Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya
Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (Ali Imron:97)Ibadah haji diwajibkan bagi muslim yang mampu baik secara materi maupun fisik. Mampu secara materi di sini tidak selalu berarti orang kaya karena banyak muslim yang hartanya berlimpah namun belum berhaji, sementara ada banyak orang yang dilihat dari penghasilannya mungkin tidak seberapa dan kehidupannya sederhana malah mampu melaksanakan Haji dngan ijin Allah. Mampu secara fisik memang dibutuhkan karena ibadah haji banyak melibatkan kegiatan fisik jasmani dan pergerakan di tengah jutaan manusia yang menyesaki lokasi pelaksanaan haji di Makah dan sekitarnya.
Ibadah Haji penuh dengan pelajaran moral yang dikemas dalam pertunjukan kolosal menapak tilas perjuangan para Nabi dan rasul. Jamaah haji diminta untuk bertindak sebagai aktor yang memerankan beberapa tokoh Manusia unggul sepanjang jaman yaitu sebagai Nabi Adam, Nabi Ibrahim, Siti Hajar, dan Nabi Ismail dengan mengambil lokasi otentik di tempat kejadian pada masa lampau, yaitu Tanah suci Makah al Mukaromah yang diberkati hingga akhir jaman.
Bayangkanlah pertunjukan yang aktornya tidak menghayati peran. Tentunya pertunjukkan tersebut akan terasa hambar. Setiap jamaah haji harus memahami dan menghayati perannya agar tidak terjebak pada ritual tanpa menyentuh makna yang ingin Allah sampaikan dalam rangkaian ibadah haji.
Bagi mukmin dan mukminat yang hidupnya dilingkupi aktivitas dakwah dalam rangka menegakkan amar makruf nahi munkar, maka ia akan merasakan sentuhan jihad dan nafas dakwah dalam setiap ritual haji. Hal yang mungkin tidak akan terasakan oleh orang awam yang berhaji secara kebetulan karena punya uang atau mengejar simbol semata. Tidak dapat dipungkiri, ternyata banyak orang yang berhaji tanpa memahami makna dan hakikat berhaji, sehingga aktivitasnya selama berhaji terasa hampa.
Jamaah Haji adalah Tamu Allah
Para jamaah Haji adalah Tamu yang dimuliakan oleh Allah. Kepada para tamunya, Allah berjanji akan mengabulkan apapun yang diminta tamunya sebagai penghormatan. Bahkan Allah menyetarakan orang yang berhaji dengan orang yang berjihad, karena para haji dan mujahid adalah orang-orang yang mau menjawab panggilan ketika Allah memanggilnya.
Sabda Rasulullah saw: “Orang yang berperang di jalan Allah, orang yang berhaji dan berumrah adalah tamu Allah. Allah memanggil mereka dan mereka menjawab panggilan itu. Karena itu ketika mereka meminta KepadaNya maka Allah mengabulkannya”. Seorang sahabat bertanya : “Wahai Rasulullah bukankah jihad itu adalah amal yang paling utama? Jawab Rasul: “Jihad yang paling utama adalah Haji mabrur” (HR Bukhari).
Namun di balik itu semua, karunia terbesar orang yang berhaji adalah adanya janji Allah untuk menghapuskan seluruh dosa tamunya dengan tanpa terkecuali. Termasuk dosa-dosa besar yang hanya dapat dihilangkan melalui wukuf di Arafah. Allah berfirman dalam hadits Qudsi: “Allah berkata kepada para Malaikat: ’Lihatlah hamba-hambaKu! Mereka datang kepadaKu dengan rambut kusut dan berdebu karena berharap rahmatKu. Aku bersaksi kepadamu bahwa Aku telah mengampuni mereka’” (HR Ahmad)
”Diantara berbagai dosa, ada dosa yang tidak akan tertebus kecuali dengan wukuf di Arafah” (al Hadits).
Inilah harapan terbesar yang ingin diraih para jamaah haji yaitu menghapuskan beban-beban dosa sehingga dengan dihapuskannya dosa-dosa lama, maka seorang mukmin akan dapat menatap kehidupan di depan dengan lebih baik dan melangkah lebih mantap karena beban dosa masa lalunya sudah berukuran, walaupun tetap harus menghadapi tantangan perjuangan kehidupan yang berat di depannya.
Perintah Haji Pertama kali
Perintah Ibadah Haji pertama kali disyariatkan oleh Allah swt dan dilaksanakan oleh ummat manusia sejak jaman Nabi Ibrahim as, jauh sebelum diperintahkan kepada Nabi Muhammad saw.
Sebagian besar prosesi Ritual Ibadah Haji merupakan cermin perjuangan Nabi Ibrahim serta keluarganya yang selama hidupnya berdakwah mengajak manusia untuk bertauhid namun juga terus menerus diuji Allah untuk membuktikan cintanya kepada Allah. Dengan penuh keteguhan, Ibrahim mampu lulus melewatinya dan mendapat kemuliaan sebagai suri tauladan bagi ummat manusia hingga akhir jaman dan namanya diabadikan dalam Al Qur’an sebagai bapaknya para nabi dan kekasih Allah pilihan.
Ujian pertama diterima Ibrahim ketika berusaha menemukan Tuhan yang sebenarnya di tengah kaumnya yang menyembah berhala dan Tuhan palsu. Akibatnya ia harus berhadapan dengan Raja Namrudz dan kaumnya yang menghukum Ibrahim dengan dibakar hidup-hidup di dalam tumpukan kayu bakar. Namun di situlah Allah menampakkan kebesarannya menurunkan mukzizat dengan menyelamatkan Ibrahim dari api yang membakarnya.
Selanjutnya, Allah menguji Ibrahim untuk merenovasi Kabah yang menjadi symbol rumah Allah di muka bumi. Kabah pada awalnya didirikan oleh para malaikat sebagai tempat thawaf di bumi selain Baitul Makmur yang menjadi tempat thawaf para Malaikat di Sidratul Muntaha. Ritual Thawaf kemudian diajakarkan oleh para malaikat kepada Nabi Adam, sekaligus memperbaiki kondisi Kabah yang mengalami kerusakan dimakan usia.
Ketika seluruh daratan bumi terendam banjir pada jaman nabi Nuh, Kabah mengalami kerusakan yang sangat berat sehingga hanya berbentuk reruntuhan batu berserakan yang sudah tidak dapat dikenali lagi wujudnya. Kemudian Allah memerintahkan Ibrahim dan Ismail untuk membina kembali Kabah dan menjadikannya sebagai tempat berkumpul ummat manusia sebagaimana firman Allah dalam QS Al Baqoroh 125 :
Dan, ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. dan Jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud”.
Setelah selesai membangun kembali Kabah dari reruntuhannya, Allah swt memerintahkan Ibrahim agar menyeru manusia untuk melaksanakan haji. Peristiwa tersebut terungkap dalam firman Allah di QS Al Hajj 26-27:
Dan, ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di Baitullah “Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan aku dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku’ dan sujud. Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh,
Lalu Nabi Ibrahim-pun bertanya kepada Allah, “Wahai Tuhan! Bagaimana suaraku akan sampai kepada seluruh manusia?” Allah berfirman, “Serulah! Akulah yang akan membuat suaramu sampai kepada seluruh manusia”. Kemudian Nabi Ibrahim as. naik ke gunung Jabal Qubaisy sambil menghadapkan wajahnya ke Timur dan Barat lalu beliau berseru, “Wahai sekalian manusia, telah diwajibkan kepadamu menunaikan ibadah haji ke Baitul Atiq, maka sambutlah perintah Tuhanmu Yang Maha Agung. ”
Seruan tersebut bergaung didengar oleh seluruh manusia baik yang sudah lahir maupun yang belum lahir. Orang yang telah ditetapkan Allah bahwa ia akan melaksanakan haji berkata “Labbaik, saya penuhi panggilan-Mu, Ya Allah! saya penuhi panggilan-Mu.” Mereka yang menjawab sekali akan berhaji sekali yang menjawab dua kali akan berhaji dua kali dan seterusnya. Sementara Mereka yang tidak menjawab panggilan tidak akan melaksanakan haji selamanya.
Allah swt memuliakan Ibrahim as dan menjadikannya sebagai Khalilullah atau Kekasih Allah. Semua doanya dikabulkan Allah karena ia telah membuktikan dirinya sebagai orang yang komit penuh kepada Allah. Ibrahim bukanlah seorang egois yang hanya memikirkan dirinya semata. Ibrahim yang pernah diuji Allah tidak memiliki anak hingga usia tua, sangat merasakan betapa pentingnya kehadiran anak dan generasi penerys.
Sebagai seorang pemimpin visioner, ia memikirkan bagaimana nasib ummat manusia generasi pelanjutnya jika mereka tidak lagi mengenal Allah atau tidak mendapatkan petunjuk sepeninggalnya. Maka beliau meminta agar Mekah dijadikan negeri yang diberkati dan agar Allah menurunkan seorang Rasul dari penduduk Mekah sebagaimana yang dinyatakan dalam QS Al Baqoroh: 126-129:
Dan ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): “Ya Tuhan Kami terimalah daripada Kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”. “Ya Tuhan Kami, Jadikanlah Kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu Kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada Kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji Kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. “Ya Tuhan Kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.
Ketika Allah memerintahkan Ibrahim untuk melaksanakan Haji, Ibrahim meminta petunjuk kepada Allah tentang bagaimana caranya. Karena pertanyaan Ibrahim-lah maka Allah menunjukkan cara manasik haji yang dikehendakiNya sehingga ummat Manusia mengetahui cara melaksanakan ibadah Haji yang benar sesuai dengan yang dikehendaki Allah.
Perintah Haji kepada Nabi Muhammad
Perintah menunaikan ibadah haji turun pada tahun ke-9 Hijrah sesuai firman Allah dalam QS Ali Imron 96-97:
“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda2 yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; Barangsiapa memasukinya menjadi amanlah dia; Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”
Walaupun ibadah haji telah diajarkan Nabi Ibrahim kepada ummat manusia, namun sepeninggal beliau banyak terjadi penyimpangan sehingga ritual haji bercampur dengan berbagai kemusyrikan. Kabah yang seharusnya menjadi tempat memuliakan dan mengesakan Allah justru menjadi pusat kemusryikan dengan ditempatkannya banyak berhala-berhala di dalamnya. Jumlah berhala tersebut terus bertambah dari masa ke masa karena masing-masing kabilah berusaha menempatkannya di sana. Pada saat Futuh Makah, Rasulullah mengalahkan kaum kafir Quraisy dan memasuki Kabah, beliau menghancurkan seluruh berhala yang berjumlah lebih dari 300 nerhala dengan menggunakan tongkat beliau, Apa yang dilakukan Muhammad saw tersebut persis seperti yang dilakukan nenek moyangnya yaitu Nabi Ibrahim yang menghancurkan berhala-berhala yang disembah kaumnya dengan menggunakan tongkatnya.
Setelah Mekah jatuh ke tangan kaum muslimin, Muhammad saw memperbaharui kembali perintah ibadah haji dengan menunjukkan cara- manasik yang benar dan membersihkannya dari ritual kemusyrikan pasca ditinggal Nabi Ibrahim as.
Ketika musim haji tiba, para sahabat merasa ragu saat diperintahkan Rasulullah untuk melaksanakan sa’i. Hal ini terjadi karena para sahabat merasa risih melihat di masa jahiliyah, Safa dan Marwah adalah tempat berhala dan kemusyrikan, sehingga mereka takut ibadah mereka bercampur kemusyrikan dan perbuatan Jahiliyah. Maka turunlah ayat berikut untuk menghapus kekhawatiran tersebut:
“Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barangsiapa beribadah haji ke Baitullah atau berumrah maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Barangsiapa yang mengerjakan kebajikan dengan kerelaan hati. Sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui”. (QS Al Baqarah 158).
Selain ibadah haji, kaum muslimin pun diwajibkan untuk melaksanakan umrah sebagaimana firman Allah dalam QS Al Baqarah 196:
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah. jika kamu terkepung, Maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), Maka wajiblah atasnya berfid-yah, Yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. apabila kamu telah (merasa) aman, Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ‘umrah sebelum haji, (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada Masjidil Haram. dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.
Rasulullah saw selama hidupnya hanya sekali melaksanakan ibadah haji yang sekaligus merupakan pelaksanaan Haji Wada’ (Haji Perpisahan) yakni pada tahun 10 H. Pelaksanaannya diikuti oleh 100 Ribu kaum muslimin, sehingga banyak manusia menjadi saksi yang melihat langsung bagaimana Rasulullah melaksanakan manasik haji dengan benar.
Selain Haji, Rasulullah saw melaksanakan Umrah sebanyak 4 kali selama hidupnya dalam tahun yang berbeda setelah beliau berada di Madinah yaitu :
- Tahun ke 6 Hijrah diikuti 1400 orang sahabat, namun tidak terlaksana karena dihalangi kafir quraisy yang akhirnya melahirkan perjanjian Hudaibiyah.
- Tahun ke 7 Hijrah sebagai umrah pengganti tahun ke 6 yang batal.
- Tahun ke 8 Hijrah setelah penaklukan Thaif dengan miqat di Ji’ronah sekaligus sebagai umrah pengganti karena ketika Rasulullah menaklukkan Makah pada bulan Ramadhan tidak melakukan umrah.
- Tahun ke 10 Hijrah, yang dilaksanakan bersamaan dengan Haji Wada dengan miqat dan ihram di Dzul Hulaifah (bir Ali).
Kepada orang yang mampu berhaji namun enggan mengerjakannya, Allah menyindirnya dengan firman : ”Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji) maka sesungguhnya Allah Maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam” (QS Ali Imron:97).
Rasulullah saw pun menyampaikan ancaman kepada orang yang mampu berhaji tapi tidak berhaji dengan menyamakannya sebagai orang kafir : ”Barang siapa yang telah memiliki bekal dan kendaraan lalu tidak berhaji maka bila mati, ia mati sebagai yahudi atau nasrani”.
Jadi, janganlah menunda pelaksanaan ibadah haji. Laksanakan ketika dirasa cukup memiliki bekal dan selagi masih muda. Insya Allah akan menjadi berkah bagi kehidupan kita. Kepada orang yang menunda-nunda pelaksanaan ibadah hajinya, Rasulullah mengingatkan: “Bersegeralah melaksanakan haji, karena sesungguhnya seorang di antara kamu tidak mengetahui apa yang akan merintanginya.”( HR. Ahmad).
Idaman bagi setiap yang melaksanakan Haji adalah mendapat predikat Haji Mabrur. Haji yang Mabrur artinya yang ibadah hajinya diterima oleh Allah karena cara hajinya benar sesuai ketentuan Allah dan Rasulullah, tidak dicemari bid’ah dan dosa, serta mampu meningkatkan kualitas diri setelah selesai melaksanakan haji melalui amalan amar ma’ruf nahi munkar sehingga menjadi sosok yang digambarkan Rasulullah yaitu : “Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi manusia”.
وَ الْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةَ
“Dan haji mabrur itu tiada balasan bagi-nya melainkan Surga” (Al Hadits)Makna dan Hakikat Ritual Ibadah Haji
Dr Ali Syariati, dalam buku “Makna Haji”, menyampaikan bahwa ibadah haji bukanlah sekadar prosesi lahiriah dan formalitas belaka, melainkan sebuah momen revolusi lahir dan batin untuk mencapai kesejatian manusia.
Melalui ritual thawaf, Allah ingin menunjukkan bahwa manusia di tengah alam semesta tidak bisa lepas dari sunnatulah Hukum Gaya Tarik, yang dengannya maka seluruh benda akan berputar pada orbitnya mengelilingi pusat alam semesta yaitu Allah swt. Thawaf mengajarkan kepada kita untuk selalu bergerak dalam orbit dan jangan pernah berdiam diri. Kita diminta untuk melebur dalam pusaran manusia yang akan membawanya mendekat menuju Allah yang disimbulkan oleh sosok Kabah. Thawaf mengajarkan kepada manusia, kalau ingin selamat, maka masuklah dalam Pergerakan karena kalau diam maka kita akan terhempas oleh arus manusia, arus jaman dan arus kehidupan.
Ritual Sa’i mengajarkan bahwa hidup di dunia adalah perjuangan tanpa henti. Pelajaran perjuangan hidup tersebut diajarkan Allah melalui sosok Hajar, seorang wanita budak hitam yang lemah tapi mempunyai kekuatan luar biasa menghadapi tantangan kehidupan. Allah mengajarkan agar kita selalu tetap berusaha di tengah berbagai ketidakmungkinan. Karena di tengah ketidakmungkinan, Allah mempunyai kuasa untuk memberikan pertolongan dari jalan yang tidak diduga. Bayangkan…. apakah mungkin di tengah padang pasir tandus seorang ibu dan anaknya bisa selamat, jika tanpa campur tangan pertolongan Allah yang mengalirkan air melalui kaki mungil bayi Ismail.
Ibadah Wukuf di Arafah mengingatkan kita terhadap pertemuan nenek moyang manusia, Adam dan Hawa, di Jabal Rahmah Padang Arafah setelah keduanya diusir dari syurga dan diturunkan ke Bumi secara terpisah. Menurut salah satu riwayat, Konon Adam diturunkan di Afrika sedangkan Hawa diturunkan di India. Setelah melalui perjuangan tak kenal lelah kedua sosok manusia tersebut akhirnya bertemu disertai pengampuan Allah terhadap taubat keduanya yang telah melakukan dosa di Syurga akibat bujuk rayu Syetan terkutuk.
Melalui ibadah Mabit dan Jumrah di Mina, Allah mengingatkan kita agar waspada terhadap godaan iblis yang tidak pernah berhenti menipu. Saat jumrah, kita diminta berperan sebagai Ibrahim menunjukkan sikap perang kepada Iblis. Ada 3 Tugu yang menjadi simbol wajah Iblis. Yaitu Jumratul Aqobah yang menjadi representasi Fir’aun (lambang kekuasaan), Jumratul Uula sebagai representasi Karun (lambang harta), dan Jumratul Wustho yang merepresentasikan Bal’am (lambang intelektualitas).
Di Mina kita diminta melaksanakan pemotongan hewan Qurban mengikuti sunnah Nabi Ibrahim yang memotong seekor qibash setelah berhasil lolos melawati ujian ketika harus mengorbankan anaknya Ismail atas perintah Allah. Dibanding Ibrahim yang diminta mengorbankan anak, Jamaah haji hanya diminta mengorbankan seekor hewan kurban sebagai simbol bahwa ia rela memotong nafsu kebinatangan yang ada dalam diri manusia.
Nabi Ibrahim adalah sosok manusia luar biasa yang berhasil lulus dari semua ujian yang Allah berikan kepadanya. Beliau bersedia mengorbankan apapun yang dicintainya untuk memenuhi semua perintah Allah, sehingga akhirnya Ibrahim diangkat menjadi Khalilullah (Kekasih Allah), imam dan panutan bagi seluruh ummat manusia.
Para hujjaj sekembalinya dari Haji diharapkan menjadi sosok layaknya Ibrahim yang mencintai Allah dengan segenap hati, tangguh, sabar dan rela berkorban demi membuktikan cintanya kepada Allah. Jangan sampai sepulang dari Haji tidak ada perubahan berarti, selain gelar haji yang disematkan oleh orang-orang disekitarnya.
Rasulullah SAW mengingatkan dalam sabdanya: “Kelak di akhir jaman, manusia pergi haji terdiri dari beberapa kelompok: Para penguasa pergi haji untuk berwisata, para hartawan untuk berdagang, para fakir miskin untuk meminta-minta dan alim ulama untuk mendapatkan nama dan pujian” (Hadits).
Setiap tahun 200.000 orang Indonesia berangkat Haji dan kembali ke tanah air dengan menyandang gelar haji. Namun sangat disayangkan, saat ini para haji masih belum memberikan kontribusi penting bagi perubahan di masyarakat. Banyak yang berhaji karena ingin mendapatkan status sosial yang lebih tinggi di masyarakat dan banyak juga yang sekedar rekreasi mental sebagai upaya untuk mengatasi rasa berdosa namun kemudian setelah kembali ke tanah air kembali melakukan kemaksiatan. Tobatnya ibaray tobat sambel. Tobat sih tapi kemudian kembali makan pedes.
Hal ini jauh berbeda dibandingkan apa yang telah dilakukan para haji di masa lampau yang sekembalinya dari Haji, semakin meningkat kontribusinya kepada masyarakat.
KH Ahmad Dahlan sekembalinya dari Haji mendirikan lembaga Muhammadiyah yang berupaya memberantas kemusyrikan dan kejumudan di dalam masyarakat melalui kegiatan pendidikan dan sosial kemasyarakatan. Begitu juga dengan KH Wahid Hasyim, HOS Cokroaminoto, H Samanhudi dll.
Jaman penjajahan Belanda, Ibadah Haji sangat dibatasi karena Belanda ketakutan mereka yang pulang Haji akan membawa semangat haji untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Ternyata memang benar, sekelompok kecil mereka yang menunaikan ibadah haji jaman penjajahan Belanda kembali dengan membawa semangat kemerdekaan setelah berinteraksi dengan kaum muslimin dari negara lain dalam muktamar internasional ummat Islam se dunia di tanah suci Mekah.